Bekerja sebagai
pewarta foto bagi Yudi Karnaedi, seorang pewarta foto PT Bali Post memiliki
tantangan tersendiri baginya. Terlebih lagi dirinya sama sekali tidak memiliki
basic pendidikan di bidang tersebut. Pendidikan terakhirnya adalah sarjan
teknik di Politeknik Negeri Bali tahun 2003. Namun bermula dari hobinya pada
dunia fotografer membuatnya akhirnya berkecimpung di dunia jurnalis,
meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai teknisi informatika. Yudi, sapaan
akrabnya telah beberapa kali menjuarai lomba fotografer. Ia bergabung dengan PT
Bali Post sejak tahun 2005 hingga sekarang. Saat itu ia hanya iseng mengirimkan
foto hasil jepretannya ke Bali Post. Kemudian karena hasilnya Bagus, ia
ditawari kerja di Bali Post. Awalnya ia hanya berstatus sebagai pewarta foto
lepas yang hanya menerima gaji tidak tetap yang hanya berdasarkan foto hasil
jepretannya yang dimuat di surat kabar. Namun lambat laun, ia diterima sebagai
pewarta foto tetap yang bekerja dalam tim. Saat itu gaji pertamanya sebagai
pewarta foto telah cukup untuk membayar kos dan makan.
Pewarta foto
merupakan bagian dari jurnalis. Secara garis besar tugas pewarta foto tidak
jauh berbeda dengan reporter. Hanya saja pewarta foto menyampaikan suatu
peristiwa secara non verbal melalui gambar-gambar yang diambilnya. Sedangkan
reporter menyampaikan secara verbal melalui peristiwa yang secara jelas
disampaikannya dengan tulisan. Pewarta foto dituntut untuk bisa mendapatkan
gambar yang bisa menerangkan 5W + 1H. Sehingga cukup dengan caption (keterangan
yang ada dibawah foto –red) yang dituliskan di bawah foto saja, telah bisa
menjelaskan peristiwa yang ingin disampaikan. Dalam dunia kerja, idealnya baik
reporter maupn pewarta foto merupakan satu tim dalam mencari sebuah berita.
Mulanya editor memberikan cerita (tugas atau peristiwa yang harus diburu –red) kepada
reporter. Kemudian reporter menyampaikan kepada editor foto (penanggung jawab
foto mengenai cerita atau berita yang hendak diburu –red) yang kemudian editor
foto menyampaikan kepada pewarta foto yang ditentukan untuk ditugaskan berburu
foto.
Foto akan lebih
memperjelas gambaran peristiwa yang terjadi di lapangan. Sehingga dalam tim,
pewarta foto jelas dituntut untuk berusaha mensinkronkan gambar yang didapatkan
dengan berita yang reporter dapatkan. Layaknya komunikasi non-verbal, gambar
lebih mampu berbicara dibandingkan tulisan. Sehingga ada kejujuran dalam
komunikasi non-verbal atau dalam konteks ini adalah foto. Semakin tidak bisa
mensinkronkan komunikasi non-verbal dengan komunikasi verbal, semakin seseorang
kehilangan kepercayaan. Artinya semakin foto dengan gambar tidak sinkron, maka
semakin suatu harian tersebut tidak dapat dipercaya. Sehingga dibutuhkan
kejelian dalam menangkap gambar agar dapat mendukung tulisan yang disampaikan
oleh reporter sekaligus menggambarkan secara lebih jelas suatu peristiwa. Yudi
yang semula seorang fotografer biasa perlu berlatih berulang kali untuk bisa
mendapatkan gambar yang diinginkan oleh redaksi. Terlebih lagi untuk harian
terbesar di pulau dewata tersebut.
Tidak seperti
profesi lainnya yang memiliki jam kerja tertentu, pewarta foto tidak memiliki
jam tentu dalam bekerja. Karena peristiwa tidak dapat diduga. Mereka biasanya
bekerja sama dengan kepolisian sehingga ketika terjadi suatu peristiwa secara
tiba-tiba mereka dapat dengan cepat datang ke tempat kejadian perkara (TKP). Ada
kekhawatiran tersendiri bagi Yudi ketika harus memberitakan peristiwa yang
berkaitan dengan pemerintahan. Namun kekhawatiran tersebut justru membuatnya
semakin berhati-hati dalam menyampaikan suatu peristiwa. Hal yang paling
membuatnya kesal di dalam pekerjaannya adalah ketika ia telah menunggu berjam –
jam lamanya untuk sebuah peliputa, namun tiba – tiba acaranya dibatalkan. Jika
sudah begitu ia akan melampiaskannya dengan berburu berita yang masih ada
hubungannya atau berburu berita yang sedang hangat – hangatnya terjadi. Ia juga
sadar bahwa setiap pekerjaan pasti ada konsekuensinya masing-masing.
Ia pun mengaku sangat
menikmati profesinya saat ini. Ia dapat bertemu dengan berbagai lapisan
masyarakat dan budaya. Sehingga ia banyak belajar dari pengalaman orang-orang
sukses. Dan yang paling ia banggakan dari profesinya adalah wawasan yang
semakin luas dan bisa mengetahui informasi – informasi terbaru. Bahkan bisa
jadi orang pertama yang mengetahui informasi terbaru tersebut. Bagi Yudi,
seorang jurnalis harus mudah bergaul agar bisa menjadi jurnalis yang bisa
diandalkan. Seorang jurnalis juga harus berani dan pantang menyerah. Karena
jurnalis dituntut untuk berani dan tidak malu dalam menghadapi narasumber yang
berasal dari berbagai kalangan dan status sosial. Sekalipun gagal atau ditolak,
jurnalis tidak boleh menyerah dalam mengejar peristiwa. Namun seorang jurnalis
harus tetap memperhatikan kode etik wartawan karena setiap narasumber berhak
atas privasinya. Relasi yang luas juga penting dibangun sehingga lebih
memudahkan jurnalis dalam mendapatkan peristiwa.
Terkait dengan
isu Asian Free Trade Assigment (AFTA) 2015, Yudi tidak khawatir karena
menurutnya tidak begitu berpengaruh bagi profesinya. Lagipula apa pun yang
terjadi ia harus mencintai dan menekuni profesinya. Karena belum tentu orang
luar lebih ahli dari pada kita. Bahkan ia berharap dengan adanya AFTA 2015
jurnalis bisa masuk pasar internasional.
Profil Narasumber
Nama :
I Ketut Yudi Karnaedi
TTL :
Amlapura, 21 Oktober 1982
Alamat :
Jl. Nuansa Udayana Utara IV/50 Jimbaran - Bali
Tempat Bekerja :
PT Bali Post
Profesi :
Pewarta Foto
Pendidikan Terakhir : Sarjana Teknik Politeknik Negeri Bali
2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar