Senin, 30 Desember 2013

mau jadi editor? minimal butuh 5 tahun jadi wartawan

Nama : Sulistiono
Tempat, tanggal lahir : Klaten, 23 Juni 1980
Pendidikan terakhir : Sarjana Ekonomi (S1) dari Universitas Brawijaya Malang
Profesi : Editor di Tribun Jogja.

Sulistiono, seorang editor di Tribun Jogja kelahiran Klaten, 23 Juni 1980. Ia meraih gelar sarjana ekonomi dari Universitas Brawijaya Malang. Sulistiono mengawali karir sebagai wartawan pada tahun 2001 di Harian Kriminal Meteor, namun hanya selama 1,5 bulan saja. Kemudian ia pindah dan bekerja jadi wartawan di Media Indonesia (2001-2010). Dan semenjak November  2010 ia pindah ke Tribun Jogja dan menjabat sebagai editor di sana. Selama karirnya sebagai wartawan, Sulistiono pernah menjuarai ajang lomba tulisan antar wartawan se-Indonesia dan berhasil menjadi juara 2 dan pernah juga menjadi juara 3. Sederet prestasi yang diraih oleh Sulistiono membuat ia pindah ke Tribun Jogja sampai saat ini.

Keberhasilan yang diraih oleh Sulistiono, tidak semudah yang orang lain bayangkan. Penghasilan  awal yang didapat pada tahun 2001 yang hanya Rp 300.000. membuat dirinya harus berhemat dan berjuang agar tetap menjalankan pekerjaan sebaik mungkin. Selama menjadi wartawan, mencari berita merupakan prioritas utama. Meskipun harus bangun jam setengah 3 pagi, tidak mandi, jalan kaki, menunggu bis sampai berjam-jam, perjalanan yang melelahkan, dan pulang sore. Semua itu sudah biasa dan tetap Ia jalani.  Pengalaman mencari berita yang sampai saat ini tidak Ia lupakan yaitu ketika Ia harus pergi liputan ke Banyumas. karena di sana warnet masih terbatas hanya ada tiga warnet, itu pun jaraknya berjauhan, Ia harus rela kehabisan ongkos dan harus jalan kaki berjam-jam demi mengirim berita.
Wartawan merupakan cita-cita Sulistiono sejak kecil, Ia tertarik menjadi wartawan berawal ketika Ia suka menonton acara Dunia Dalam Berita yang ditayangkan TVRI. dan ketemu bentuknya sejak kuliah. Ketika kuliah Jurusan ekonomi, Sulistiono selalu aktif di pers mahasisiwa 1998. Dari Pers Mahasiswalah Ia selalu membaca, dan belajar bagaimana membuat berita yang baik. ketika sudah lulus, Ia membulatkan tekadnya untuk menjadi wartawan.
Intinya, untuk mengawali karir menjadi wartawan tidak hanya perlu menguasai hard skill (bisa menulis, menguasai seni wawancara, dan mampu menguasai seni engel berita). Tetapi seorang wartawan harus punya soft skill, yaitu harus bisa bertahan hidup sebagai jurnalis dengan keterbatasan yang ada. Semua itu bisa didapat dengan cara terus mencoba dan terus belajar. Dan setiap hambatan harus dihadapi dengan kesabaran.
Sadar bahwa kontribusinya masih kurang, Sulistiono berkesempatan untuk mencari dan meneliti sebuah isu-isu politik pada tahun 2009. Bersamaan dengan itu, Sulistiono mewawancarai peneliti dari UGM. Dampak ketika Ia menulis kebobrokan DPT (Data Pemilih Tetap) pemilu 2009, yaitu apa yang Ia tulis menjadi referensi para calon legislative beserta tim suksesnya dan para calon presiden dalam menggarap isu-isu politik.
Sekarang, setelah Sulistiono menjadi editor Tribun Jogja. Ia tidak perlu mencari berita dan liputan lagi. Ia hanya perlu duduk dan menerima berita yang datang dari wartawan. Kerjanya hanya mengedit berita tersebut. kalau ada berita yang kurang ditambahin. Kalau ada bahasa yang salah dibenerin, kalau ada tata bahasa yang kurang lengkap dilengkapi, dan kalau ada narasumber yang kurang, tinggal meminta wartawan untuk melengkapinya. Setelah itu semua selesai, tugas Sulistiono selesai. Selanjutnya berita tinggal diserahkan kepihak layout untuk dicetak.
Namun, jabatan sebagai editor harus dibarengi dengan tanggungjawab yang tinggi, karena seorang editor harus membawahi beberapa wartawan. Kadang-kadang dalam pelaksanaannya  terkendala dalam kelapangan sehingga target tak tercapai. Itu semua oleh Sulistiono harus diselesaikan, dan yang penting itu semua dijalani sesuai prosedur yang ada, serta selalu berkoordinasi dengan editor-editor yang lain. Karena setiap hari selalu dikontrol oleh atasan, menuntut Sulistiono harus bekerja secara professional tiap waktu.
Tribun Jogja yang bermarkas di Jalan Jenderal Sudirman 52 Yogyakart itu, mempunyai konsep unik yang membuatnya berbeda dengan media masa yang lain. Tribun Jogja bukan Koran harian murni, tetapi Koran mingguan yang dihariankan. Konsep besarnya yaitu perpaduan antara Koran harian dan majalah. Selain itu, Koran Tribun Jogja juga mengusung konsep mikro people yaitu lebih menonjolkan dramanya atau mendramatisasi sesuatu yang menarik dari sebuah peristiwa. Dan itu semua didukung dengan grafis-grafis yang menarik.
Sekarang yang zamannya sudah serba digital, Tribun Jogja tidak hanya mengeluarkan Koran offline. Namun untuk mengimbangi pasar, Tribun Jogja juga sudah mengeluarkan TribunJogja.com. itu semua merupakan strategi agar Tribun Jogja lebih dekat dengan masyarakat.
Dengan banyaknya media masa yang sudah digital, menurut Sulistiono itu merupakan kemajuan yang positif. Karena tidak hanya akan menguntungkan perusahaan. Tetapi itu semua akan menjadi lapangan pekerjaan yang produktif bagi wartawan-wartawan yang akan datang. untuk lebih kreatif dalam mengimbangi laju teknologi global.
Untuk itu, Sulistiono berpesan kepada para mahasiswa yang ingin menjadi wartawan. Untuk lebih kreatif lagi dan mampu melihat peluang  dalam membuat berita. Manfaatkanlah kesempatan kuliah untuk mengasah kemampuan menulis dan mewawancara. Karena dari pengalaman itulah kamu akan lebih mudah ketika sudah terjun langsung menjadi wartawan.
Pewawancara : Budi Haryadi
NIM : 13730012

“Di Balik Koran yang bagus, ada seorang editor yang hebat”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar